CERPEN 

Perempuan yang Tak Mengenal Diagram Tulang

Ahmad Dzikron Haikal, Mahasiswa Pascasarjana Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang.  lahir di Desa Margolinduk Bonang, Demak dan tinggal di Banyumanik Semarang. Pegiat sastra malam Jumat di klinik art. Selain menulis puisi, juga suka menulis cerpen.

 

Aku masih duduk di pinggir malam menanti kunang-kunang. Sorot mataku mulai remang-remang ketika ayam jantan mengabarkan sebentar lagi pagi menjelang. Kuhela napas sesaat. Lalu kubakar satu batang rokok. Sejenak aku mengarahkan pandangan ke sekeliling. Ternyata langit sudah berubah merah muda. “Aku lelah berharap,” gumamku. Sebotol minuman yang ada di samping kuteguk. Sebenarnya ingin kuputuskan untuk segera tidur, namun percikan air di kamar mandi membuatku urung melakukannya. Kemudian aku termenung.

Ciap-ciap burung yang bertengger di atas tiang listrik belakang rumah mengiringi awal hari. Di balik kenangan yang dingin dan kelam, kuhitung napas yang berhembus dari lubang hidung, sembari menatap sinar matahari yang menerobos masuk di antara kusen-kusen pintu. Semenjak pagi mengasingkanku di dalam kegelapan, orang-orang menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti. Sebagian dari mereka mengira bahwa aku adalah salah satu perempuan yang akan dihapus namanya. Mereka kerap membicarakan perihal diriku yang telah melahirkan sebuah kutukan. Entahlah, aku sudah pasrah setengah putus asa. Namun, jika aku putus asa, apakah tuhan marah terhadapku? Sedangkan Dia tak pernah kulihat dan membantuku.

Keputusasaan terbesarku saat itu adalah aku telah membiarkan kutukan itu tumbuh menjadi seorang bocah perempuan bermata senja yang selalu memanggilku dengan panggilan ibu. Katanya, ia pernah tinggal di dalam perutku selama sembilan bulan. Setiap malam ia kerap mengunjungiku barang sebentar untuk mendengar kisah tentang surga di atas keningku sebelum ia terlelap. Sejak saat itu, surga adalah penantian yang sangat meresahkan di dalam hidupku.

“Ibu belum tidur?” tanyanya dengan suara yang lembut.

“Lekas mandi, jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, apakah kau tidak pergi ke sekolah?” jawabku agak ketus. Sepertinya ia tau apa yang aku resahkan.

Aku tidak pernah menyuruhnya merasakan apa yang belum pernah ia rasakan. Setiap bulan separuh kuning, ia membawakan harapan-harapan hangat di cawan gelas. Sebelum diusap-usapkan di dadaku, ia memijit-mijit kakiku dan mengurapinya dengan minyak yang terbuat dari rempah, mengganti alas tidurku yang sudah lapuk, dan menyisir kamar tidurku yang sudah kusut. Seolah menguatkan prasangkanya, bahwa ia benar-benar makhluk yang pernah mendiami rahimku. Kau tahu, ia adalah seorang bocah perempuan biasa saja layaknya anak seusianya. kali ini aku mencoba mengingatnya di sela-sela tumpukan daftar wajah-wajah yang tersimpan dalam ingatanku. Dia berbeda dengan yang lainnya, wajahnya terlihat beku, meskipun terkadang memaksa terlihat riang. Yang kuingat adalah sorot matanya yang sayu, namun tajam. Dia tak banyak bicara, penurut, dan penyayang. Sejak peristiwa itu, dia tak pernah lagi menemuiku. Tak pernah lagi menyapaku. Tak pernah lagi meminta untuk diceritakan kisah surga. Tak pernah membawakan harapan dan memijit-mijit kakiku lagi Tak pernah.

Kenangan itu menyeruak kembali. Malam itu bulan bersinar remang, jam sudah menunjuk angka sebelas lewat tiga puluh menit. Aku memutuskan untuk duduk di pinggir malam dan menanti kunang-kunang. Sama seperti yang aku lakukan setiap malam. Belum habis rokok yang kuhisap, tiba-tiba sebuah mobil berwarna pekat melintas pelan dan berhenti tepat di samping rumah. Sosok lelaki muncul dari dalam mobil, lalu masuk dan menghampiriku dengan wajah yang terlihat capek.

“Keputusanku sudah bulat, Haryanti! Sudah kuurus semua berkas-berkas perceraian kita! Dan ternyata selama ini kau telah membohongiku mengenai bocah perempuan bermata senja itu!” ucapnya membuka perbincangan di sela-sela suara jangkrik yang mulai ceriwis.

“Kau menjebakku untuk menikahimu!” imbuhnya. Peristiwa itu dia angkat untuk mengorek kembali kesalahanku tempo lalu.

“Ya, kau benar, aku sudah membohongimu. Tapi bukankah kau sudah berjanji menerimaku apa adanya?!” tukasku dengan membuang rokok yang sudah habis kuhisap. “Lantas, apakah dengan cara seperti itu kau menutupi kesalahanmu di depanku?!” sergahnya. Aku terdiam. Ia tak mengerti seperti apa nasib seorang perempuan yang tidak mampu menjaga kehormatannya. Tentu akan membuat malu keluarga, dijauhi dan dianggap pembuat cemar bahkan menjadi bahan pembicaraan warga sedesa. Lalu dengan kehadiranmu yang tak sempat kuduga, hari itu juga aku berpikir bahwa kaulah seseorang yang dikirim tuhan untuk menyelamatkanku. Tak begitu lama, lelaki itu pergi menerabas malam. Mataku mulai memerah menahan amuk amarah. Entah kepada siapa aku harus melampiaskan marah? Sementara bungkus rokok yang tergeletak di atas meja kuremas-remas lantas kaucampakkan begitu saja di jalanan. Rambutku yang panjang kubiarkan tergerai liar disapu angin. Rembulan di depan mata membuat napasku melenguh. Kelu meringkus ruang dadaku, menyesakkan. Sakit sekali. Malam terasa begitu panjang. Halaman kecil itu berubah menjadi neraka, penuh dengan nestapa. “Apakah ada yang lebih kelam dari malam ini, tuhan?” rintihku menahan amarah. Suasana semakin lengang. Dan benar, sejak itu aku tak menyukai rembulan yang datang terlalu cepat. Suara angin berdesir, dingin menembus tulang. “Ah, hidup ini selalu memberi pilihan” Batinku berbicara.

Ketika itu umurnya menginjak lima belas tahun. Bocah perempuan bermata senja masih terlalu polos untuk memahami permasalahan yang dialami perempuan sekalipun aku sebagai ibunya. Pulang dari sekolah dia selalu bergegas mengganti baju dan merapikan seluruh ruangan yang seharusnya adalah pekerjaanku. Lagi-lagi hatinya terlalu lugu untuk mengerti keadaan rumah yang tak ada sedikitpun perhatian dan kasih sayang untuknya. Setiap hari ia selalu mengirim pesan menanyakan sedang apa, sudah makan belum, dan kapan pulang. Kadang kubalas, kadang tidak sama sekali.

Suatu ketika aku pulang lebih awal dari biasanya. Saat aku membuka pintu rumah, kudapati bocah bermata senjata itu memandangiku dan pelan-pelan menghampiriku. “Bu, apakah ibu akan berpisah dengan bapak?” tanyanya. Aku terhenyak. Lampu-lampu remang yang menyerupai kristal di tengah ruangan memendarkan cahaya kegelisahan. Beberapa laron sudah kelelahan mengejar cahaya yang redup itu. Mereka jatuh satu persatu di lantai yang sedikit berdebu.

“Sudahlah, kau tak usah memikirkan hal itu. Tak perlu lagi bertanya urusan orang tua. Yang penting kau belajar dan berprestasi.”

“Tapi aku perlu tahu Bu,” imbuhnya.

“Untuk apa? Kau ingin membujuk bapakmu agar kembali kepada kita?”

“Lelaki itu telah menghancurkan harapan ibu, meretakkan kebahagiaan kita.” jawabku mulai berkaca-kaca.

“Tetapi ia masih bapakku kan Bu?” jawabnya dengan memelukku.

“Lelaki yang sudah meninggalkan kita tidak pantas kau sebut sebagai bapak! Kenapa waktu itu aku tidak berpikir untuk membesarkanmu seorang diri!” tangisku pecah.

“Tak ada yang harus disesali, Bu.” sambil memelukku erat.

“Maafkan aku Bu sudah membuat ibu menangis. Sebab beberapa hari yang lalu aku mendengar dari para tetangga bahwa sebentar lagi bapak dan ibu akan berpisah.” imbuhnya.

“Ah, dasar tukang gosip!” rintihku menahan sedih dan amarah. Dadaku serasa disesaki perasaan kesal begitu bergumpal-gumpal.

“Apakah malam ini ibu mau menemani aku tidur? Sudah lama sekali ibu tak pernah membacakan cerita tentang surga sebelum aku tidur.” Sekali lagi aku terhenyak dengan permintaan bocah perempuan bermata senja itu. Aku diam sesaat, lalu berpikir antara menolak atau mengiyakan permintaanya.

“Malam ini ibu tidak bisa, karena ada pekerjaan yang harus ibu selesaikan,” ucapku mencoba membuka pelukannya..

“Besok malam bisa kan?” tanyaku melanjutkan.

“Iya, Bu tidak apa-apa.” Bocah bermata senja itu menundukkan kepalanya, mengusap airmatanya, lalu bergeas menuju kamarnya. Sebelum sampai kamarnya aku memanggilnnya.

“Kirana, kamu tidak marah sama ibu kan?”

“Tidak Bu, Kirana tidur duluan ya Bu” jawabnya dengan menghilang di balik pintu kamarnya.

“Tuhan, aku harus bagaimana? Tak mungkin aku seperti ini selamanya kapada bocah itu.” Peristiwa itu masih meninggalkan luka yang belum hilang. Sehingga memunculkan sikap ketidakpedulianku terhadap permintaanya yang sederhana. Anehnya, aku tidak menemui sisi keibuanku di sini. Apakah aku sudah tidak punya nurani untuk benar-benar membahagiakannya? Atau barangkali aku memang sudah merencanakan peristiwa itu untuk membuatnya putus asa? Ah, bagaimana mungkin seorang ibu tega melihat buah hatinya terkoyak-koyak seperti ini, bukankah kasih sayang seorang ibu sepanjang masa?

Tidak begitu lama aku terlarut dalam pikiran yang sedang berkecamuk, tiba-tiba pintu rumah ada yang mengetuk. Sontak aku terkejut, lalu bergegas membukakan pintu sambil sesekali mengusap sisa-sisa airmta yang menempel di pipi. Dalam hati ku bertanya, “Siapa gerangan malam-malam begini bertamu?”. Belum mendapat jawaban atas rasa penasaranku, darahku terkesiap ketika orang di balik pintu adalah suamiku. Laki-laki yang sebentar lagi menceraikanku. Meninggalkan aku dan bocah perempuan bermata senja itu.

“Untuk apa kau datang kesini lagi?” tanyaku kepadanya.

“Apakah kamu ingin mengungkit-ungkit masa laluku lagi?!”

“Apa kamu belum puas dengan keadaanku sekarang ini?!” kini nada bicaraku semakin meninggi.

“Aku ke sini hanya untuk memberitahumu tentang tanggal sidang perceraian kita. Masalah kamu dengan anakmu itu sudah bukan urusanku lagi. Dan ingat, anak itu sudah tidak ada hak lagi terhadapku.” jawabnya dengan datar.

“Kau sungguh keterlaluan Agung!” sambil kulempar asbak yang tergeletak di atas meja ruang tamu, dan “praaannnkkk….!!!!” asbak itu mengenai figuran yang membingkai fotoku dan Kirana. Seketika suasana hening sesaat. Selang tak beberapa lama suara decitan pintu kamar membuyarkan keheningan tadi.

“Kirana….!” aku tercekat. Seolah-olah aku sudah tak mampu berbicara lagi. Dengan ragu-ragu ia memberanikan diri untuk mendekati kami yang sedang diterjang badai emosi.

“Bapak, Ibu.. maafkan Kirana yang sempat mencuri dengar pembicaraan tadi. Sekarang semuanya sudah nampak jelas di mata Kirana.” ucapnya dengan berkaca-kaca. “Kirana tidak ingin kebahagiaan keluarga kita retak lantaran emosi sesaat. Kirana mohon agar Bapak mengurungkan niat untuk berpisah dengan ibu. Sebab Kirana sayang dan bangga mempunyai orang tua seperti kalian.” imbuhnya. Aku masih saja terdiam mendengar ucapannya. Aku tidak mempunyai kekuatan meskipun sekedar untuk menatap matanya yang sayu dan tajam. Baru saja aku mulai memikirkan kata-katanya dan mencoba mencernanya, dengan lantang Agung berkata, “Kau masih anak ingusan, tau apa tentang urusan orang dewasa, hah?!” hardiknya. “Asal kamu tahu, aku bukan bapak kandungmu! Apakah ibumu belum menceritakannya kepadamu?”

“Agung, hentikan ucapanmu!!!!” aku mencoba memotong pembicaraannya agar suasananya tidak semakin memuncak.

“Lantas Kirana anak siapa kalau bukan anak Bapak dan ibu?” tanyanya lirih. Sorot matanya kini benar-benar menggariskan kesedihan yang teramat pedih

“Asal kamu tahu saja ya, kamu itu buah kenakalan ibumu yang tidak mampu menjaga kehormatannya, lalu di menjebakku untuk menikahinya. Ingat itu!” Agung menutup pembicaraannya sebelum ia pergi dan mencampakkanku dan Kirana. Ketika hendak mengejar Agung untuk menampar mulutnya, tangan Kirana meraih dan memegang pergelangan tanganku. Lalu tiba-tiba dia merasa lemas, kemudian jatuh dan tak sadarkan diri. “Kirana bangun Nak, bangun…….!!!” aku mencoba membangunkannya, namun tetap saja terpejam. “Ada apa denganmu Nak? Maafkan ibu.” rintihku penuh sesal.

Kini, penyesalan datang belakanagan. Ia sekarang berada di rumah sakit swasta Kota Semarang yang terletak tak jauh dari universitas ternama di sana. Ia merasakan sakit yang teramat berat untuk anak seusianya. Dokter mendiagnosis dirinya terkena penyakit meningitis. Bocah perempuan bermata senja itu berbaring. Perlatan medis sudah melengkapi tubuhnya. Keringat dan airmatanya mengalir, napasanya naik turun. Sesekali dia membuka mata dan memanggil namaku dan bapaknya, ada ketakutan yang menyelimuti dirinya. Wajahnya tampak pucat. Aku sama sekali belum siap menghadapi hal ini seorang diri.

Dalam lelah, kekhawatiran, dan keputusasaan yang sangat, aku masih saja berharap dia mampu bertahan dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Dalam kondisi sadar atau setengah sadar, seorang mengetuk pintu dan masuk. Seorang lelaki dengan setelan baju berwarna hijau muda dan mengenakan penutup kepala, berjalan tergesa-gesa. Tangannya membawa seperangkat alat medis. Lalu mengecek keadaan Kirana. Aku mulai tersadar ketika detak jantung anakku di layar kardiogram menunjukkan garis datar dan lurus. “Maafkan kami Bu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Ini sudah jalan yang terbaik untuknya. Semoga ibu bisa mengikhlaskan kepergiannya. Sabar ya Bu.” Lelaki itu bicara pelan. Kemudian lelaki itu bergegas pergi, namun suaranya lebih terdengar seperti petir yang menggelegar menyeruak di kamar rumah sakit swasta itu. “Kirana…..!!!!!! Kenapa tidak Kau ambil sekalian nyawaku tuhan!!!” ” tangisku meledak. “Yang ikhlas Bu, relakan Adik pergi menemui tuhan” seorang perawat mencoba menenangkanku sambil menyelimuti Kirana dan membawanya pergi untuk di mandikan. “Tidak, jangan tinggalkan ibu sendirian menjalani hidup ini sendiri. Aku masih memiliki hutang yang teramat besar padamu Kirana…..!!!!! “ ratapku sambil menatap ranjang yang di bawa pergi perawat tadi. Namun sayang, Bocah perempuan bermata senja itu bergegas pergi. Hanya nampak kenangan bersamanya saja. Saat itu, tak pernah kubayangkan bahwa dia yang berwajah datar adalah perempuan yang tak akan pernah lagi mengenal diagram tulang. Selamat jalan anakku.

 

 

Related posts

Leave a Comment

16 − eight =